kupu-kupu tersesat dikegelapan malam
dijalan sepi menikam mimpi
kunang-kunang berkejaran dikegelapan malam
dalam tarian cahaya merenda doa
kupu-kupu berkunang-kunang
tergolek dikegelapan malam
kunang-kunang terbang ke awan
memberi sulaman doa pada bintang-bintang
Singing is my blood, my breath, my soul and my life! Can't imagine living without it.
Sabtu, 11 Agustus 2012
Seperti Papa Mengenang Namira
“Seperti Papamu mengenang Namira, seperti itu pula Mama
ingin melakukannya…”
Namira menarik napas panjang.
Panjang sekali. Ia tahu nama Namira yang baru saja disebutkan oleh Mama pasti
bukan namanya.
“Seperti Papamu selalu merasakan
kehadirannya dengan hadirnya kamu, seperti itu pula Mama ingin merasakannya…”
Wajah Mama penuh air mata.
Ini air mata pertama yang Namira
lihat secara langsung. Sebelumnya Mama tidak pernah mengeluarkan air mata. Sebelumnya
Mama selalu tersenyum di hadapannya meskipun Namira kerap kali bertanya kenapa
mata Mama seringkali sembab setiap kali ke luar dari dalam kamar.
“Mama harus jujur…”
Namira yang memulai pembicaraan.
Bicara tentang kenangan dan masa lalu. Bicara tentang perasaannya saat ini yang
sedang dilanda cinta. Dan ingin Mama menceritakan tentang masa lalunya.
Tapi wajah Mama menjadi mendung.
Lalu mendung itu tiba-tiba menjadi hujan. Hujan air mata.
Namira sendiri tidak tahu apa
sebabnya. Yang ia tahu pertanyaannya wajar saja. Teman-teman yang lain juga
suka cerita kalau mereka sering tanya hal yang sama dengan Mamanya. Dan Mama
mereka mau menceritakannya.
Tapi kenapa Mama menangis?
“Seperti Papamu mengenang Namira…”
Namira menarik napas panjang lagi.
Namanya Namira. Hanya Namira saja.
Tidak ada tambahan yang lain. Entah apa artinya ia pun tidak pernah tahu. Mama
selalu menggeleng jika ditanya. Dan selalu bilang kalau Mama tidak pernah mau memanggilnya dengan nama itu. Makanya Mama
hanya memanggilnya dengan panggilan Dik saja. Atau Nak. Atau Sayang.
Sedang Papa yang ditanya selalu
tersenyum simpul sambil menghelus-helus rambutnya.
Sebelumnya Namira tidak mau banyak
bertanya. Tidak perlu dan tidak penting untuknya.
“Namira namanya…”
“Jadi Namira itu siapa?” tanya
Namira akhirnya.
Rasanya ia sudah cukup besar untuk mengetahui sebuah rahasia. Kalaupun itu
adalah sebuah rahasia.
Mama memandanginya.
Ah wajah Mama kelihatan layu sekali.
Mata penuh air mata. Bibir yang pucat.
Yang Namira tahu Mama memang tidak
pernah berdandan di rumah. Tidak juga kalau ke luar rumah. Tidak suka kata
Mama. Tidak mau. Sudah tua jangan aneh-aneh. Padahal kalau saja Mama mau
sedikit berdandan pasti wajah Mama lebih cantik ketimbang bintang sinetron.
Namira pernah lihat kok rambut Mama
yang selalu digulung itu kalau dibiarkan terurai bagus sekali. Warnanya
kecoklatan. Coklat asli bukan hasil semir rambut. Ikal bergelombang. Namira
sendiri mewarisi rambut seperti Mama. Dan banyak teman-teman yang memujinya.
“Jadi Namira itu siapa, Ma?”
Mama menghembuskan napasnya.
Memandang pada Namira.
“Aku tidak boleh tahu?”
Mama kelihatan seperti berpikir.
Lalu menggeleng. “Biarlah Papamu yang menjawab.”
“Jadi Mama tidak mau?”
Mama menggeleng. “Seperti Papamu
ingin mengenang Namira maka Mama pun ingin mengenang apa yang seharusnya Mama
kenang,” ujar Mama sambil berjalan meninggalkan Namira.
Namira tahu ia tidak boleh banyak
bertanya lagi.
**
“Kenapa tanya soal Namira?”
Papa baru pulang malam sekali. Pintu
kamar sudah terkunci. Kedengaran beberapa kali Papa mengetuk tapi Mama tidak
membukakan. Mungkin Mama sudah tertidur dengan lelapnya.
“Kenapa tanya soal Namira?” Papa
meneguk kopi yang Namira buatkan. “Kamu
seperti dia…”
“Namira?” tanya Namira cepat.
Papa mengangguk.
“Jadi Namira itu ada?”
Papa meneguk kopinya lagi. “Jadi
Namira itu memang ada…”
“Pantas Mama cemburu…”
“Alah…, Mamamu memang selalu
cemburu.”
“Ya kalau Papa selalu ingat sama
pacar lama Papa pasti Mama bisa cemburu. Apalagi Papa kasih nama aku persis
seperti itu…”
“Bukan Papa yang kasih nama kamu,”
Papa mencubit pipi Namira. “Eyangmu yang kasih nama. Karena Namira begitu
sempurnanya…”
“Kasihan Mama…”
Papa menepuk bahu Namira. “Biarkan
Mama cemburu. Biar saja. Nanti Mamamu juga sadar sendiri bahwa memang Namira
itu pantas untuk dikenang.”
Namira sungguh tidak mengerti.
**
“Ajarkan Mamamu untuk berdandan,”
bisik tante Ros pada Namira. Pulang sekolah Namira langsung ke sana. Namira
tidak tahan lihat Papa dan Mama saling mendiamkan.
Papa selalu berangkat kerja
pagi-pagi sekali dan baru pulang di malam hari. Sedang Mama baru ke luar kamar
ketika Papa pergi dan sudah mengunci kamarnya ketika Papa belum pulang.
“Apa karena Namira suka berdandan?”
Tante Ros menggeleng. “Tante kurang
tahu.”
“Apa Namira begitu cantiknya?”
Tante Ros menggeleng lagi. “Tante
juga tidak tahu.”
“Jadi Tante tidak pernah tahu siapa
itu Namira?”
Tante Ros menghembuskan napasnya.
“Ajak Mamamu bicara. Dan ajarkan menjadi lebih baik lagi….”
“Tapi kalau Papa mengenang Namira
pacarnya dulu itu, Mama juga akan mengenang pacarnya yang dulu. Heran, kalau
masih ingat sama pacarnya kok mereka mau menikah ya, Tante? Kalau mereka berdua
gak nikah kan aku gak bingung seperti sekarang ini?”
Tante Ros menepuk pipi Namira. “Yang itu Tante juga tidak tahu.”
Tante Ros menepuk pipi Namira. “Yang itu Tante juga tidak tahu.”
“Tapi masak Tante tidak tahu terus?”
Tante Ros diam.
“Kata Papa namaku itu yang kasih
Eyang.”
Tante Ros diam.
“Tapi aku lupa Eyang dari Papa atau
dari Mama, ya?”
“Sudah.., ajarkan Mama untuk
berubah. Maka Papamu pasti akan berhenti mengenang Namira…”
Namira bingung. Namira hanya menganggukkan kepalanya saja.
**
Tapi di rumah, lipstik yang
diberikan Tante Ros pada Namira langsung Namira berikan pada Mama. Dan Mama
menggeleng tegas.
“Mama harus berdandan…”
“John tidak pernah suka Mama berdandan,”
Mama menggeleng keras-keras.
“Tapi Papamu tidak mau tahu itu.
Namira sendiri tidak pernah berdandan lalu buat apa aku harus berdandan. Mama
tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Namira di hati Papamu…”
Mama mulai menangis.
Namira tidak tahu apa yang harus ia
lakukan.
“Lebih baik Mama mengenang John
saja..”
Lebih baik mungkin Namira bicara
langsung pada Papa saja.
**
“Aku mau Papa bicara soal Namira!”
Mata Namira sebenarnya sudah
mengantuk. Tapi Namira menunggu Papa pulang. Sudah malam. Seharusnya ia sudah
terlelap dalam tidurnya dan bermimpi.
“Aku mau Papa bicara soal Namira!
Dan Mama juga berhenti bicara soal John?
Kening Papa membentuk kerutan. Lalu tertawa. “Ah.., John
gundul yang culun itu yang masih dikenang Mamamu? Papa gak mungkin cemburu…”
“Papa…,” mata Namira memandang tajam
pada Papanya. “Kalau hanya masa lalu Papa dan Mama jadi seperti ini lebih baik
Papa menceraikan Mama. Jadi aku tidak bingung seperti sekarang ini…”
Namira tahu Papa pasti kaget
mendengar kalimatnya. Tapi ia juga kaget. Kaget sendiri. Tapi kalimat itu
benar-benar ke luar dari hatinya. Namira sudah capek melihat rumah tangga Papa
dan Mamanya.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Papa kelihatan terkejut.
“Karena Namira ingin Papa dan Mama
tidak bertengkar terus…”
“Kami tidak pernah bertengkar…”
“Apa bedanya bertengkar dengan
saling diam dan tidak menegur satu sama lain?”
Papa diam.
“Papa harus bicara…”
Papa mengangguk. Pelan sekali.
**
“Namanya Namira. Baik, pintar,
cantik. Papa mengenalnya sejak kami sama-sama kecil dulu. Seperti Mamamu
mengenang John.”
Pandangan mata Papa menerawang.
“Setiap orang yang mengenalnya pasti
menyukainya. Namira begitu sempurna. Ia cantik dan baik. Ia sopan dan tahu
menjaga perasaan orang lain.”
“Dan Papa mencintainya?”
“Dan Papa mencintainya sepenuh hati,” ujar Papa
menganggukkan kepalanya. “John juga mencintainya. Hanya dia malu-malu
mengakuinya.”
“Tapi itu kan masa lalu. Papa sudah
menikah dan Namira pasti juga sudah menikah dengan orang lain. Kenapa jadi
ribut sekarang ini?”
Papa diam.
“Bukan begitu, Pa…”
“Bukan begitu, Namira. Bukan begitu
cerita yang selanjutnya.”
“Lalu bagaimana?”
“Lalu Namira yang sempurna itu
mengatakan pada Papa untuk tidak menerima cinta Papa karena takut ada yang
terluka.”
“Jadi Papa ditolak?”
Papa mengangguk. “Tapi Papa tahu ada
yang ia sembunyikan. Karena tidak ada yang diterima cintanya. Tidak Papa. Tidak
juga John dan tidak juga puluhan lelaki lainnya.”
“Memangnya kenapa?”
Papa menghembuskan napasnya.
Mengusap wajahnya seperti ingin mengembalikan ingatannya dari masa lalu.
“Memangnya kenapa, Pa?”
“Ketika musim hujan tiba, kami semua
terkena hujan air mata.”
“Papa kayak seniman saja. Pakai
puisi…,” Namira tertawa.
“Namira dipanggilNYA persis ketika
hujan turun dengan lebatnya. Dokter tidak bisa menyembuhkan sakit kanker
darahnya. Papa menangis. Semua menangis. Eyangmu juga menangis.”
“Maksud Papa…”
“Mungkin kamu harus tahu sekarang ini…”
“Maksud Papa…”
“Namira itu kakaknya Mama…”
Namira diam.
Sungguh ia terkejut luar biasa.
**
“Seperti Papamu terus mengenang
Namira, seperti itu pula Mama akan
mengenang John…”
Namira hanya tersenyum memandangi
Mama.
Papa sudah cerita semuanya. Termasuk
John yang patah hati dan akhirnya sepeda motornya masuk jurang lalu John
ditemukan mati.
“Seperti Papamu terus mengenang
Namira…”
Namira tidak mau berkomentar lagi.
Papa dan Mama mungkin butuh waktu
untuk menyadari bahwa mereka hidup di dunia nyata sekarang ini. Bukan di masa
lalu.
**
Langganan:
Postingan (Atom)