Jumat, 15 Februari 2013

Analisis film Tanah Surga Katanya


Bermula dari sebuah keluarga yang hidup sederhana, film ini mulai membawa penonton larut dalam alurnya. Seorang kakek yang berbagi pengalaman kepada cucunya ketika perang melawan malaysia pada akhir era orde lama. Hidup sederhana tetapi memiliki rasa nasionalisme yang tidak sederhana. Konflik pun selanjutnya muncul ketika seorang anak dari kakek dan ayah dari dua bocah yang masih polos mengajak keluarganya pindah ke negeri yang lebih makmur, yaitu Malaysia. Penolakan sang kakek menjadi awal konflik dalam film ini. Ditambah lagi si anak laki-laki memilih tetap tinggal bersama kakenya ketimbang ikut untuk merasakan hidup sejahtera di negeri seberang.

Pada latar yang berbeda, film ini juga menyadarkan rakyat Indonesia tentang bagaimana pendidikan dan kesehatan di daerah pelosok yang jauh dari pembangunan dan tidak mengenal rupiah sebagai alat tukar. Sekolah yang jauh kata layak. Satu ruang diberi sekat untuk dijadikan dua kelas. Sekolah yang hanya memiliki seorang guru yang “terjebak” untuk mengajar di daerah tersebut. Sekolah yang murid-muridnya hanya hafal lagu “kolam susu”. Walaupun terjebak, sang guru telah jatuh hati untuk tetap mendidik generasi penerus bangsa di perbatasan tersebut. Realitas kesehatan di perbatasan pun ditampilkan dengan apik. Bagaimana akses sangat terbatas ditampilkan dalam film ini. Eksklusi sosial di bidang kesehatan sangat terasa dengan tidak adanya fasilitas kesehatan yang memadai. Dengan konteks yang ditampilkan adalah seorang kakek yang bermasalah dengan jantungnya dan harus dibawa ke rumah sakit.

Koruptor pun mungkin akan malu menonton film ini. Apalagi ketika sekolah yang hampir roboh di perbatasan tersebut kedapatan pejabat yang meninjau untuk memberikan bantuan. Pada awalnya semua berjalan lancar. Si pejabat mau memberikan bantuan untuk sekolah tersebut. Semuanya menjadi terbalik ketika seorang siswa membacakan seutas puisi dengan bait dari lagu “kolam susu” yang ditambahkan beberapa kata yang begitu membuat sang pejabat terhina dan tersinggung.

Klimaks dari film ini adalah mengenai nasionalisme. Begitu banyak bagian dari cerita film ini yang menampakkan nasionalisme di garis terluar perbatasan negeri ini. Pertama, dari konflik dari sang kakek dengan anaknya tentang kehidupan yang sejahtera di negeri seberang dibandingkan dengan negeri sendiri. Kedua, nasionalisme yang ditunjukkan dari alat tukar yang digunakan di daerah perbatasan. Ringgit lebih berharga daripada rupiah. Ketiga, tidak ada satupun warga bahkan kepala dusun sekalipun yang memiliki bendera merah putih. Hanya seorang kakek yang memilikinya dan dirawat dengan baik sejak bendera tersebut tidak lagi dikibarkan setelah masa peperangan dengan malaysia tahun 1965. Keempat, bagaimana para siswa tidak tahu bagaimana lirik dan cara menyanyikan lagu kebangsaan indonesia raya. Mereka menganggap lagu “kolam susu” adalah lagu kebangsaan indonesia. Kelima, bagaimana seorang anak rela menukar kain yang dibelikan untuk kakenya di negeri seberang dengan bendera merah putih yang dijadikan kain pembungkus dagangan di negeri seberang.