“Hallo..
selamat malam, bisa bicara dengan Didit?” ucapku pada orang yang sedang
menjawab teleponku, suara itu terdengar ramah.
“Oh.. Diditnya sedang ke dokter, mbak. Kayaknya sebentar lagi pulang,
soalnya udah dari tadi sore perginya. Mbak coba lagi aja telepon kira-kira
setengah jam lagi? Atau mungkin ada pesan mbak? Nanti saya sampaikan.”
Rupanya Dwi yang mengangkat teleponku. Dwi adalah adik lelaki Didit yang
pertama, dia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Didit
sendiri adalah anak sulung yang saat ini sedang mencoba berkarier di perusahaan
percetakan. Aku mengenalnya ketika sama-sama
terlibat dalam satu proyek pelatihan kewirausahaan.
“Ini Dwi ya? Mm.. ya udahlah Dwi, nanti aja aku telepon lagi. Makasi ya?”
lalu ku tutup telepon. Didit sakit?
Hmm.. sakit apa lagi ya? Sebenarnya bukan hal aneh kalau mendengar kabar Didit
sakit. Temanku yang satu ini memang dikenal sebagai orang yang mudah sakit.
Jika ku perhatikan, dia seperti bukan orang yang enerjik, kelihatan lemah
lunglai dan tidak bergairah. Tapi ada yang aku suka darinya, dia orangnya baik,
supel dan sangat taat beragama. Dalam pergaulan, dia tak pernah membeda-bedakan
orang yang menjadi temannya. Semua orang yang mengenalnya pasti selalu
mengungkapkan bahwa dia seorang yang sangat baik sehingga orang-orang selalu
betah untuk berlama-lama dengannya. Begitupun aku, rasa simpatiku muncul
berawal dari pertemanan ini. Apalagi dia termasuk lelaki yang smart,
hmm.. aku paling suka sama lelaki smart.
“Krriiiiiiiiing.. kriing..” Uupss.. bunyi telepon di kamarku cukup membuat
aku terkejut setengah mati, buyar deh lamunanku tentang Didit. Buru-buru ku
angkat telepon sebelum menjerit untuk yang ke tiga kalinya.
“Yaa.. halloo?!”
“Halloo.. met malam, Nitanya ada?”
Aaahhh.. sepertinya aku kenal suara khas itu.
“Didit ya?” suaraku terdengar nyaring, mungkin karena aku merasa gembira
dan tebakanku tidak meleset.
“Hehehee..” ku dengar tawanya renyah di sana. Langsung saja ku tanya
kabarnya juga tentang sakitnya. Beberapa saat aku dan dia terlibat pembicaraan
yang seru, sesekali kita tertawa membicarakan kekonyolan teman yang juga sobat
kami, Niken. O ya, kita berteman empat orang. Didit, Defra, Niken dan aku
adalah empat sekawan yang selalu bersama-sama ke manapun kita pergi. Kita
bertemu dalam satu proyek dan tetap dekat, meskipun proyek telah usai.
Tak lama kemudian, ku dengar ia terbatuk-batuk. Aku agak meringis
mendengarnya. Seperti batuk yang ditahan dan sakit kedengarannya.
“Iya nih, batukku gak sembuh-sembuh, Nit. Makin hari, malah makin parah saja. Aku malah udah
5 hari gak masuk kantor.” Waah.. separah itukah batuknya? Aku teringat kembali
kala kita masih sama-sama beserta teman-temanku yang lain. Mengerjakan proyek bersama, berdiskusi bersama,
makan siang bersama, bahkan pulang pun selalu bersama. Aku tahu dari Defra,
kalau dia memang mengidap berbagai macam penyakit, entah itu berat atau ringan,
aku sendiri tak tahu. Yang pasti, sinusitis adalah salah satu penyakit
langganannya. Mungkin karena sekarang setiap hari dia harus bermotor lagi. Ku
dengar, Kijang SX abu yang selalu dia pakai telah dijual untuk kebutuhan
ayahnya. Hmm.. kadang aku trenyuh mendengarnya, ia begitu perhatian terhadap
keluarganya terutama pada ayahnya.
Makin lama, batuknya terdengar makin panjang. Aku tak tega mendengarnya.
Karena itu..
“Dit, ngobrolnya distop dulu deh. Kasian kamu batuk-batuk melulu. Aku gak
tega dengarnya, ntar aku yang telepon kamu lagi ya. Sekarang, kamu istirahat
aja dulu.”
Akhirnya, pembicaraan kami usai setelah tiga kali aku memintanya untuk
menutup telepon karena aku tak tega mendengar batuknya.
.. ??? ..
Seminggu berlalu, aku sibuk dengan pekerjaanku. Beberapa makalah belum aku
selesaikan, padahal makalah ini harus selesai besok untuk dipresentasikan
bossku di depan audiens training komunikasi. Aah.. aku teringat janjiku untuk
menelepon Didit. Bagaimana keadaannya sekarang ya? Sudah sembuhkah ia? Aku
sendiri heran, kenapa teman-temanku tak ada yang kasih kabar padaku soal
kondisi Didit hari ini. Apa mereka pun sangat sibuk sampai melupakan Didit? Atau mereka tidak tahu
kalau Didit sakit? Sejak proyek
usai, kontak hanya dilakukan lewat telepon dan email. Defra diterima sebagai
perwira Angkatan Laut dan harus bertugas di Papua, sedangkan Niken, dia kembali
ke posisinya sebagai mahasiswa Ilmu Politik yang sibuk menyelesaikan
skripsinya.
Aku kembali tenggelam dalam pekerjaanku menyelesaikan sisa makalah
komunikasi sambil ku nyalakan MP3 player di komputer kerjaku. Lagu “Lea” Toto pun mengalun, menemani kesibukanku.
Aku teruskan ketikan makalah untuk bossku. Rumit juga ya, mengerjakan sesuatu
di kala kurang konsentrasi? Apalagi kalau bahan untuk menyusun makalah dirasa
kurang lengkap. Tapi, aaahh.. akhirnya, selesai juga makalah ini. Segera ku
susun pula dalam power point mengingat bossku suka mempresentasikan makalahnya
memakai proyektor. Waktuku hanya tinggal satu jam lagi sebelum menjelang jam
pulang.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lewat lima menit. Aku buru-buru
membereskan bahan-bahan makalah dan meja kerjaku untuk bergegas pulang, agar
bisa cepat-cepat menelepon temanku, Didit.
.. ??? ..
Ku tekan nomor itu, lalu ku dengar telepon diangkat. Langsung ku sapa,
“Halloo.. selamat malam, bisa dengan Didit?” beberapa detik ku tunggu jawab
dari telepon itu.
“Yaa.. ini Didit, Nita?” waah.. rupanya dia sendiri yang menerima langsung
teleponku. Tapi, kenapa suaranya tak seperti
suara yang selama ini ku kenal ya? Aku hampir tak mengenalinya. Suara ini begitu serak, berat dan seperti
menahan sakit. Apa sakitnya belum sembuh juga?
“Hai Dit, gimana kabarmu? Udah baikan? Sepertinya masih batuk ya?” aku
membuka pembicaraan.
“Belum Nit. Batukku makin parah, dadaku kadang terasa sakit. Jadinya, aku gak bisa ngobrol banyak. Kadang aku
malah gak sanggup untuk terima telepon. Aku suka minta orang rumah untuk bilang
aku sudah tidur kalau ada yang telpon aku. Makanya, maaf ya kalau besok-besok, kamu terima
telepon dari rumahku seperti itu.”
Waah.. aku jadi merasa seperti orang bersalah, karena aku telepon dia saat
ini. Padahal aku hanya ingin tahu kabarnya saja. Tapi, menurutnya malam ini aku
beruntung sekali karena dia sedang dalam kondisi lumayan sehingga bisa terima
teleponku. Senangnya aku mendengar jawaban
ini darinya. Aku rekam dalam ingatanku, dia tak boleh ngobrol banyak. Karena
itu, aku juga ngobrol seperlunya saja. Bercerita soal kerjaanku, juga kabar
teman-teman. Ya, dia menanyakan kabar teman-temannya. Mungkin karena ia sendiri
belum ketemu mereka sejak proyek usai.
Sudah sepuluh menit, aku harus menutup teleponku. Aku takut, dia kecapekan
karena harus membalas obrolanku. Tapi, anehnya dia tetap saja bercerita. Aku
jadi tak enak untuk menghentikannya. Ku dengar dengan seksama ceritanya dan
sesekali ku tanggapi. Sepertinya dia tak mau cepat-cepat mengakhiri obrolan
ini. Gimana ya?
“Dit.. udah cape belum? Jangan lupa, kamu harus banyak istirahat. Aku gak
mau teleponku ini ganggu istirahatmu.” Tapi, dia tak hiraukan ucapanku. Dia
tetap saja asyik bercerita padaku. Sepertinya, malam ini dia punya teman
ngobrol? Dan sepertinya aku menelepon di waktu yang tepat. Hmm.. aku jadi ingat
rasa simpatiku padanya, mungkinkah?
Akhirnya, terpaksa harus ku akhiri juga obrolan ini karena aku mulai
mendengar batuk sakitnya. Suaranya terdengar agak kecewa, karena aku memutuskan
obrolan ini. Seperti biasa, aku janji padanya akan telepon beberapa hari lagi
untuk mengetahui kondisinya. Suaranya terdengar gembira dan aku senang
mendengarnya. Dalam hati ku berdoa, semoga ia cepat sembuh.
.. ??? ..
“Kriiiiiiing..” bunyi telepon menyadarkan aku ketika sedang asyik menyusun
buku-buku pustaka bossku yang harus aku susun alphabetis.
“Yaa.. haloo selamat siang?” ternyata pak Ujang bawahan bossku yang dulu
sama-sama diperbantukan di proyek. Dia memberiku kabar tentang sakitnya Didit.
Aku tanya perkembangannya, mengingat sudah beberapa hari ini aku belum sempat
menelepon Didit lagi.
“Mbak Nita, Mas Didit sekarang kondisinya makin parah. Saya kemarin nengok
dia, kasihan sekali mbak sampai gak tega lihatnya juga. Kalau bisa, mbak
sempatkan nengok juga, buat sekedar kasih motivasi aja, soal umur kan kita gak
tau mbak.” Aku terdiam mendengar cerita Pak Ujang tentang Didit. Padahal tempat
kerjaku kebetulan berdekatan dengan rumah DIdit yang hanya beda satu komplek
saja, tapi aku belum menyempatkannya. Aku bingung, datang ke rumah Didit
sendirian, duh.. apa gak jadi tanda tanya orang tuanya ya? Selama ini yang aku
lakukan memang hanya meneleponnya saja. Buru-buru ku tepis perasaan itu.
Sepertinya omongan pak Ujang benar juga, umur manusia tidak bisa diprediksi.
Aku jadi tergugah untuk menengok Didit, daripada aku menyesal. Sebenarnya dia
sakit apa ya? Pak Ujang sendiri belum tahu karena memang Didit sakit masih
menjalani perawatan di rumah saja.
.. ??? ..
“Met malam.. Didit ya? Gimana kabarnya sekarang?” ku dengar dia terdiam,
seperti sedang ambil nafas panjang sebelum akhirnya membalas pertanyaanku.
“Kondisiku masih sama Nit. Kemarin aku check-up ke dokter, katanya ada
tumor di paru-paruku besarnya kira-kira sebesar telur ayam. Tumor ini ada di
antara sekat paru-paruku, makanya bikin aku susah nafas dan kadang-kadang
dadaku sakit jadi untuk mengurangi sakitnya aku batuk-batuk. Kata dokter harus
dioperasi, biayanya sekitar 30 juta. Aku gak punya uang sebesar itu, lagi pula
peluang hasil operasi ini fifty-fifty. Si pasien bisa sembuh atau malah
meninggal. Jadi ku pikir, kalau hasilnya seperti itu lebih baik gak usah
dioperasi. Aku mau coba pengobatan alternatif aja yang lebih murah. Aku udah
pasrah kok sekarang.” Aku terdiam mendengarnya. Aku hampir menangis mendengar
cerita Didit. Ya Allah.. segitu beratnya cobaan yang Engkau berikan pada
temanku? Teman sebaik dia harus menanggung cobaan ini? Suara Didit seperti yang
ringan beban, dia begitu pasrah pada kondisinya. Tak ada kalimat keluhan
sedikitpun. Aku salut padanya, dalam kondisinya yang mungkin akan menghadapi
maut, dia masih bisa tersenyum. Motivasinya untuk sembuh bisa aku rasakan. Aku
jadi ingin bertemu dengannya. Aku ingin lihat kondisinya langsung, aku jadi
teringat cerita pak Ujang dua hari yang lalu.
Lalu, ku telepon Niken untuk coba mengajaknya menengok Didit. Tapi, saat ini dia sedang sibuk-sibuknya. Dia
menolak aku ajak, karena harus bolak-balik mengurus skripsinya. Dia janji
padaku akan menengok Didit begitu kesibukannya berkurang. Duh.. kenapa susah
sekali mengajak orang untuk menemaniku ke rumah Didit?
.. ??? ..
“Hai Nit.. sibuk banget nih? Gimana buku pustaka bossmu udah ampe mana
dientry?” Nanin datang menghampiriku, aku sedang asyik memasukkan judul-judul
tumpukan buku pustaka ke komputer yang ada di meja kerjaku. Aku membalas
sapaannya. Nanin adalah orang yang dikontrak boss untuk membantuku menyusun
buku-buku pustaka secara alphabetis. Dia dosen komunikasi yang juga pustakawan.
Program buatannya dibeli bossku sebagai penunjang pustaka. Saat ini dia adalah
trainerku untuk adaptasi penggunaan program buatannya. Tidak terlalu sulit,
hanya butuh sedikit ketelatenan saja agar buku-buku yang dimasukkan tidak
terlewat judul maupun isinya. Sesekali aku tanya Nanin, jika ku kesulitan menentukan jenis buku yang ku
masukkan.
Selama beberapa jam aku asyik dengan kesibukanku, begitupun Nanin. Ku lihat dia sedang menempel label pustaka yang
telah aku cetak tadi. Setelah itu, buku-buku yang telah didata dan ditempeli
label, disusun ke rak buku sesuai dengan nomor jenis buku.
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku teringat niatku untuk menengok
Didit. Ahaaa.. kenapa tak ku ajak Nanin saja?
“Nin.. mau anter aku nengok temenku gak? Dia udah sakit lama banget hampir dua bulan gak
sembuh-sembuh, tumor paru. Aku pengen nengok, cuma gak ada temen. Gak enak nih,
abis temen laki-laki. Mau gak Nin? Ntar sore ya? Deket kok di komplek sebelah.”
Aku ngomong sambil sedikit memohon, please..
Ku lihat Nanin sedikit tersenyum, “Temen spesial ya?” mimik jahil diapun
tampak. Aku nyengir dibuatnya, serasa kepergok mendadak. Nanin diam sejenak,
aku harap-harap cemas. Untuk lebih meyakinkannya, aku pun cerita panjang lebar
soal penyakitnya. Pikirku, pokoknya sore ini aku harus jadi nengok Didit.
“Oke.. ntar sore aku temenin.” Aaahhh.. senangnya aku, akhirnya ada juga
yang mau temani ke rumah Didit. Sepertinya omonganku begitu persuasif ya? Bikin
Nanin mau berkorban untukku.
.. ???..
“Assalamu’alaikum..” ku lihat ada dua orang tamu di rumah Didit. Aku dan
Nanin disambut ayah Didit. Rumahnya yang mungil, kelihatan begitu asri dan
rapi. Ibunya muncul dan menyalamiku, aku sapa Didit yang duduk dekat ruang
makan. Dia tersenyum padaku dan membalas sapaanku. Rupanya tamu itu, pak Dadi
dosen fakultas tempat bossku mengajar yang juga senior kelas Didit waktu
kuliah. Aku kenal, karena selalu kontak dengannya jika ada urusan soal
perkuliahan. Kerjaanku memang berhubungan dengan akademik, karena itu aku kenal
dekat dengan beberapa dosen tempat bossku mengajar.
Didit terlihat diam, sangat jauh berbeda jika ketemu aku di telepon. Tapi
aku tak terlalu ambil pusing, yang penting saat ini aku bisa lihat keadaannya.
Dia terlihat seperti orang yang sehat, hanya wajahnya sangat pucat. Tak ada
kesan kurus di badannya, semuanya terlihat biasa namun sangat jelas, kalau dia
seperti menahan sesuatu yang sakit dan semua orang tidak perlu tahu. Mungkin
dia lebih suka menikmatinya sendiri sehingga orang yang melihatnya tetap
seperti orang yang sehat. Sesekali dia mengajakku ngobrol dan aku menjawabnya
sambil ku perhatikan mimiknya. Lemah sekali.
Satu jam berlalu, hampir maghrib aku memberi kode pada Nanin untuk segera
pulang. Ku pikir, dia harus istirahat
lagi. Ku lihat pak Dadi pun hendak bersiap-siap pulang. Sore itupun aku pamit pada ayah ibunya dan juga
Didit dan tak lupa mendoakannya. Aku melihat satu harapan di dirinya.
Sepertinya dia merasa senang karena aku menengoknya. Mudah-mudahan menjadi satu
harapan pula untuknya agar tetap tidak menyerah pada penyakitnya.
.. ??? ..
Satu bulan berlalu, sejak aku menengoknya. Aku tidak tahu kondisi Didit
sekarang. Kesibukanku membuat aku tidak ada kesempatan untuk tahu kabarnya.
Lagi pula aku sendiri tak mau mengganggu istirahatnya, karena setiap kali aku
telepon aku tak pernah bisa lagi ngobrol langsung dengannya. Biasanya aku hanya
ngobrol dengan ayahnya karena dia sedang istirahat.
Pagi tadi sebelum aku sampai tempat kerjaku, aku lihat iring-iringan
jenazah masuk gang rumah Didit. Rumah Didit memang bersebelahan dengan komplek
pemakaman umum. Anehnya, aku deg-degan dibuatnya. Aku teringat Didit. Tapi
buru-buru ku tepis pikiran itu jauh-jauh.
Ku lihat di luar jendela depan meja kerjaku panas terik disertai hujan rintik-rintik.
Kenapa pikiranku tertuju pada Didit lagi ya? Dia sedang apa sekarang? Hari ini
tanggal 14 November. Ada apa ini? Aku benar-benar ingin tau kabarnya. Mungkin
nanti sore aku telepon ke rumahnya. Namun, ku urungkan niatku karena takut
mengganggu istirahatnya. Sejak ku hanya bisa ngobrol dengan ayahnya saja, aku
memang jadi agak jarang meneleponnya lagi. Semoga kondisinya membaik. Ayahnya
pun sudah terlihat pasrah.
.. ??? ..
“Kriiiiiinngg.. kriiing..” telepon di kamarku bunyi. Jam berapa ini? Jam
04.30.. siapa ya subuh-subuh begini telepon? Buru-buru ku angkat telepon yang
tepat di atas sandaran kepalaku.
“Halloo..” aku agak berat mengangkatnya. Rasa kantukku tak tertahankan, padahal aku harusnya
sudah bangun untuk shalat subuh.
“Assalamu’alaikum.. dengan Nita ya?” hey.. sepertinya aku kenal suaranya,
Fikri. Dia teman baik Didit juga, hanya
pertemananku dengannya tak sedekat dengan Didit, Defra dan Niken. Lagi pula
baru kali ini dia telepon aku. Lalu, ada apa ya subuh-subuh dia telepon aku?
Tumben.
“Alaikum salam.. iya Fik, tumben telepon. Ada apa?” suaraku terdengar
berat. Ku dengar dia agak ragu untuk menyampaikan sesuatu.
“Ini Nit.. mm, kamu udah tau soal kabar Didit belum? Aku mau nyampein tadi
dini hari jam 02.30 Didit udah ninggalkan kita semua untuk selamanya. Dia udah
meninggal Nit..” Dhhuuuuaaaaaarrr!! aku merasa sedang disambar petir saat aku
mendengar kabar ini dari Fikri. Suara Fikri terdengar terbata-bata. Spontan aku
ucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. aku langsung menangis saat itu
juga. Kenapa secepat ini ya Allah Kau panggil teman terbaikku? Aku terus menangis dan terus menangis.
“Kita pasrahkan aja pada Allah Nit.. yang penting jangan lupakan untuk
doakan Didit, mudah-mudahan amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT.” Suara Fikri
menahan tangisku. Obrolan disudahi karena dia harus kontak teman-teman lainnya
dan aku pun harus memberitahu teman-temanku. Niken, Defra apa mereka sudah
tahu?
Niken menangis. Tangisannya malah tak berhenti di telepon, padahal aku
sudah berusaha berkali-kali menghiburnya. Dia menyesal sekali, karena saat aku
ajak menengok dia tolak ajakanku dengan alasan sibuk skripsi. Dia menyesal
kenapa tidak menerima ajakanku saat itu. Dia menyesal karena selama Didit
sakit, justru dia jarang kontak. Aku tetap mendengar semua penyesalan Niken.
Aku teringat dua hari yang lalu, perasaanku sangat tidak enak soal Didit. Aku
pun sempat menyesal, kenapa hari itu aku urungkan niatku untuk meneleponnya?
Padahal kata Fikri, hari itu adalah hari Didit masuk rumah sakit karena
kondisinya bertambah parah. Dia sempat anfal di rumah sakit. Seandainya hari
itu aku jadi menelepon, mungkin aku bisa langsung menengoknya pula di rumah
sakit. Tapi, semuanya sudah terjadi. Jalannya memang harus seperti ini. Aku pun
teringat akan asaku.
Pagi ini, 16 November aku siap-siap untuk menghadiri pemakaman teman
terbaikku. Dengan tangis yang tak
henti-hentinya, aku coba untuk lebih kuat dari Niken. Aku bersyukur, karena di
saat-saat terakhirnya aku sempat merasakan lebih dekat dengannya. Aku bersyukur
karena di saat sebulan sebelum kematiannya, aku sempat menengoknya. Aku
bersyukur karena diberi kesempatan menjadi orang yang pertama mendapat kabar
kematiannya. Aku bersyukur, dia telah bebas dari penderitaannya. Semoga ini
yang terbaik untuknya. Selamat jalan
sobat.. suatu saat, aku pun pasti akan menjadi bagian dari duniamu. Engkau
teman terbaik yang pernah ku punya bagai sebening embun yang selalu membasahi
setiap helai daun.