Dua puluh hari yang lalu ibuku telah meninggalkan
kami, tiga bersaudara yang selalu bersama. Sekarang kami tidak punya
siapa-siapa. Pemilik lahan telah menyita apa yang tersisa untuk membayar
hutang-hutang kami.
Adikku menderita kelaparan sehingga ia harus dilarikan
ke rumahsakit, sementara kakakku tidak bisa berjalan karena kedua kakinya
melepuh setelah berjalan berkilo-kilometer menyusuri desa menuju kota.
Tidak ada yang tahu bagaimana menebus biaya rumahsakit
adikku, atau mengobati kaki kakakku. Aku pun tidak sempurna. Sejak lahir aku
buta pada mata kiri. Tidak ada yang mau menerimaku bekerja karena kecacatanku.
Satu-satunya kerabat kami adalah paman kami yang
tinggal jauh di desa lain. Untuk menempuhnya bisa memakan waktu berhari-hari,
sementara aku tidak memiliki ongkos untuk menumpang kendaraan umum.
Aku pun mengunjungi rumahsakit dimana adikku dirawat.
“Gus, aku minta doamu, aku akan ke rumah paman. Mungkin akan lama. Kamu yang
sabar ya.”
Rupanya Gusti tidak ridho kakaknya meninggalkannya. Ia
berusaha mencegahku agar tidak udah pergi saja. Tapi akhirnya dia melepaskanku.
Kemudian kudatangi kakakku dan meminta hal yang sama.
“Aku akan mencoba mendatangi paman. Siapa tahu dia bisa membantu kita.”
Hernawa hanya menatapku, kemudian mengangguk. Aku tahu
dia juga tidak rela aku pergi meninggalkannya. Kami selalu bersama sejak kecil.
Sudah buruk ketika Gusti harus dirawat dan Hernawa bercokol seperti tikus di
gang sempit dan gelap di belakang rumahsakit. “Pergilah, Dar, jika itu
kehendakmu. Aku akan mendoakanmu.”
Dengan berat hati aku melangkah pergi. Matahari
menyambutku diantara gedung-gedung. Namun belum sampai setengah kilo, kakiku
sudah melepuh dan tidak sanggup lagi berjalan. Aku hendak beristirahat di
trotoar ketika sebuah becak motor menyambarku, kejadiannya begitu lekas
sehingga aku terlambat menghindar.
“Loh, mas Darwis?” seru penumpang becak yang
mencelakakanku itu. Seorang perempuan muda turun dengan wajah kagetnya dan
buru-buru membantuku berdiri.
“Hesti?” Kebetulan sekali. Hesti adalah anak pamanku
yang rumahnya kutuju.
“Maaf lho mas sampean sampe celaka, jalanannya padat
dan supirnya agak ngawur. Mas mau kemana?”
Aku menjawab malu-malu, “Sebetulnya ya mau ke rumahmu.
Ibu meninggalkan belum sebulan yang lalu. Dan adikku di rumahsakit.”
“Hes…itu siapa?” tanya seorang pria diatas bangku
penumpang becak yang sama.
“Mas Darwis, Pak.”
“Paman!” seruku gembira sambil menyalaminya.
Rupa-rupanya pamanku itu juga sedang sakit dan hendak
pergi ke rumahsakit. Tiba-tiba saja perutnya serasa ditusuk-tusuk saat berkebun
dan Hesti langsung membawanya menggunakan jasa becak motor.
Setelah lebih sehat, pamanku menanyakan keadaanku dan
saudara-saudaraku. Syukurlah ia merasa prihatin dan menawarkan bantuan untuk
adikku yang dirawat di rumahsakit yang sama. “Nanti, kalian pulanglah bersama
paman. Biar paman tunjukkan apa yang bisa kalian kerjakan di kota. Mugi-mugi
bisa membantu asal kalian mau bekerja keras. Untuk sementara tinggallah di
rumah kos-kosan paman. Mau kan?”
“Mau sekali, paman. Terimakasih. Terimakasih!” tanpa
sadar aku menyalaminya.
Kutemui Gusti di bangsal lain di rumahsakit itu. “Dek,
kita masih punya harapan. Alhamdulillah.”
“Doaku terkabul, Kang,” ujarnya tersenyum. “Aku berdoa
supaya paman yang menemui kita disini.”
“Ah, kamu ini… Ada-ada saja.”
Gusti memejamkan mata sambil tersenyum, kakinya
digoyang-goyangkan santai.
Hernawa minum air dari plastik yang diberikan gratis
oleh pemilik warung nasi. Ia memijit-mijit kakinya dengan perlahan. “Kang, kita
masih bisa selamat. Tuhan menyelamatkan kita.” Kuceritakan padanya apa yang
terjadi.
“Syukurlah. Berarti doaku terkabul. Aku minta supaya
kamu tidak perlu pergi. Aku tidak mau kita terpisah-pisah lebih jauh lagi.”
Mataku terasa basah. Aku tidak mengira doa
saudara-saudaraku demikian berharga di mata Allah. Sungguhlah Tuhan bekerja
dengan cara yang misterius.
Kehidupanku dan saudara-saudaraku mungkin tak akan
pernah sama lagi. Tapi satu hal yang pasti, kami akan selalu bersama lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar