Fajar tertepis hangatnya sinar mentari
Walau ku masih ingin memeluk kedamaian pagi
Menenangkan jiwa yang kian rapuh
Terkikis kesepian hati yang berlarut-larut
Hari yang berlalu adalah hampa
Kosong, ibarat tersesat di hamparan padang ilalang
Tanpa arah, mengalir menggapai nafsu
Menepiskan akal, tenggelam dalam dunia fatamorgana
Ku berharap hari ini benar-benar ada
Tak hanya diam, terinjak takdir kehidupan
Tak hanya bersandar alasan, berpaling dari kenyataan
Karena ku ingin melukis pelangi di sepanjang hidupku
Singing is my blood, my breath, my soul and my life! Can't imagine living without it.
Kamis, 04 September 2014
Senin, 17 Februari 2014
Terusir
Melayang..
Raga ini, bagai rindu dimusim kemarau
Terusir tiupan angin
Tercampak
Berserakan
Hingga waktu tak lagi hiraukan
Ketika sang waktu memasung otakku
Ketika hari-hari telah hampa tnapa nama
Meski semua kan kembali ke tiada
Sabtu, 01 Februari 2014
Terabaikan
Kuingat
hari itu
Mentari yang selalu setia menerangiku
Memandang engkau disebuah ruangan
Pertama kali berjumpa
Bisu
Hanya itu yang kau lakukan
Saat kedua bola mata ini menatapmu
Namun, dalam diammu lah
Hati ini tak ingin berpaling
Hari-hari kujalani dengan penantian
Penantian yang kugantungkan
Pada sepenggal harap yang tak berujung
Terlintas dibenakku untuk mengakhiri penantianku
Saat pesan singkat itu tak bertuan
Tak tahu untuk siapa?
Tak mengerti untuk apa?
Seakan teracuhkan
Kini mentari tak secerah dulu
Awanpun tak seterang dulu
Mendung berteman hujan
Yang setia bersamaku
Dalam penantian ini
Sabtu, 18 Januari 2014
Analisis puisi Tanah Air Mata
Tanah Air Mata
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Tema
Tema dari puisi ‘Tanah Air Mata’ di atas adalah Perjuangan Menuntut Keadilan.
Majas
Puisi ‘Tanah Air Mata’ banyak menggunakan majas metafora seperti: / tanah air mata tanah tumpah dukaku / menyanyikan air mata kami / kami simpan perih kami / kami coba sembunyikan derita kami / kalian pijak air mata kami / kalian hinggap di air mata kami /. Majas personifikasi ditemukan pada bait ke-4 larik ke-3 / tapi perih tak bias sembunyi / dan baik ke-
5 larik ke-2 / dan udara luas menunggu /.
Citraan
Citra gerak terdapat pada bait kelima / ke manapun melangkah / ke manapun terbang / ke manapun berlayar / kalian arungi air mata kami /. Citra rabaan terdapat pada bait kedua / disinilah kami berdiri / pada bait ketiga / kami simpan perih kami / kami coba sembunyikan derita kami / pada bait keempat / kami coba kuburkan duka lara /dan bait kelima / kalian pijak airmata kami /. Citra visual terdapat pada bait ketiga / di balik etalase megah gedung-gedungmu / pada bait kelima / bumi memang tak sebatas pandang./. sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait kedua / menyanyikan air mata kami/.
Amanat
Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah keadilan. kita sebagai generasi muda harus menegakkan keadialan, dan harus memiliki sikap yang bertanggung jawab, bijaksana, adil demi tercapainya tujuan bangsa yakni masyarakat yang adil dan makmur.
Essai Sastra
Wanita
dan budaya
Novel dengan tema budaya yang berseting
perjuangan hidup seorang perempuan berhasil digarap oleh Ahmad Tohari, yakni
novel yang berjudul “ Ronggeng
Dukuh Paruk”. Novel ini berlatarbelakang tentang sebuah kebudayaan di
daerah tertentu. Bagaimana pengaruh kebudayaan itu bagi masyarakat. Novel ini
menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan bermasyarakat. Dapat dipergunakan
sebagai literatur dengan pesan-pesan yang ada di dalamnya. Pesan yang berusaha
digarap oleh pengarang. Novel yang bertema kebudayaan dan merupakan satu dari
trilogi yang ditulis oleh Ahmat Tohari. Novel ini mengambil cerita tentang
seorang ronggeng dengan kehidupannya dan bagaimana dia di dalam masyarakat.
Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan hidupnya.
Selain Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari, Novel lain yang mengangkat tema budaya daerah setempat yaitu Tarian
Bumi karya Oka Rusmini yang berseting di Bali dengan adanya sistem kasta yaitu
penggolongan masyarakat berdasarkan status sosialnya dan bersifat turun temurun
dengan mengadopsi konsep Catur Warna dalam agama
Hindu (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra). Oka Rusmini
sebagai wanita Bali sangat jeli dalam mengamati fenomena-fenomena
tersebut. Melalui
novelnya ini ingin memaparkan kondisi masyarakat Bali terutama
kaum perempuan secara terang-terangan, di mana
terdapat beberapa pertentangan adat. Pengarang ingin mengajak masyarakat untuk
mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang
kelas-kelas sosial dalam novel ini. Perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan
feminisme dalam novel ini diharapkan dapat memberikan implikasi bahwa untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidup tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan keras dan sikap pantang menyerah.
Dalam rumah besar dan mewah itu
hanya teriakan nenek dan kata-kata kasar ayah yang sering keluar. Ibu Telaga jarang
berbicara. Dan kakek hanya bisa diam. Setelah kematian ayah Telaga disusul
kemudian nenek, Ibu mulai mengatur kehidupan Telaga. Kenanga tidak membiarkan
Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Keinginan-keinginan Kenanga adalah
harga mati yang tak seorang pun bisa membelokkannya, pun demikian jodoh untuk
Telaga, putri satu-satunya.
‘Tarian
Bumi’ menceritakan perjalanan hidup seorang wanita bernama Telaga Pidada. Sejak
lahir dia adalah seorang keturunan brahmana.
Meskipun ibunya adalah seorang keturunan sudra tapi ayahnya adalah seorang
keturunan brahmana. Sehingga darah brahmana pun mengalir kental dalam tubuh
Telaga. Nenek Telaga juga adalah seorang keturunan brahmana murni namun
dinikahkan dengan seorang lelaki sudra. Diceritakan bahwa kehidupan Telaga
dalam griya penuh dengan kemewahan, aturan adat, dan segala problematika dalam
keluarganya. Hingga suatu hari Telaga dipinang oleh seorang pelukis dari
keturunan sudra bernama Wayan Sasmitha. Mereka berdua menikah tanpa persetujuan
dari Ibu Telaga dan Ibu Wayan. Mulai dari situlah kesengsaraan dan himpitan
hidup semakin menekan Telaga, cobaan dan tantangan terus menguji kesabarannya.
Sampai akhirnya Telaga melahirkan seorang gadis cantik dan cerdas bernama Sari.
Dengan hadirnya Sari, Telaga mencurahkan seluruh harapan dan membagi
kebahagiannya pada anak semata wayangnya itu.
Tidak
jauh berbeda dengan Tarian Bumi, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari juga
menggambarkan tema yang serupa, yaitu budaya setempat. Pada novel ini
dikisahkan seorang Ronggeng bernama Srintil seorang
penduduk di dukuh Paruk. Konon di dukuh itulalah dulu Ki Secamanggala bermukim,
leluhur dari warga dukuh Paruk. Srintil adalah gadis kecil yang dipercaya oleh
kakeknya kelak akan menjadi inang ronggeng. Akhirnya Srintil belajar menjadi
calon ronggeng pada Kartareja. Kartareja adalah dukun ronggeng. Ayah dan ibu
Srintil telah meninggal. Ayahnya, Santayib adalah penjual tempe bongkrek.
Mereka berdua meninggal karena keracunan tempe bongkrek. Semenjak itu Srintil
tinggal bersama kakek dan neneknya. Srintil berasal dari keluarga yang tidak
punya dan tidak berada. Seorang gadis yatim piatu yang semenjak bayi kehilangan
ayah dan ibunya. Ibunya dan beberapa warga dukun Paruk meninggal karena racun
yang ada pada tempe bongkrek. Selanjutnya dia dirawat oleh nenek dan kakeknya.
Srintil disetir kakeknya agar mau menjadi seorang ronggeng. Terhimpit oleh
kemiskinan, menjadi seorang ronggeng berarti menjanjikan sebuah kemapanan. Itu
satu diantara alasan mengapa Srintil mau menjadi Ronggeng.
Unsur intrinsik
Tarian Bumi
Tema : Sulitnya
perjalanan hidup perempuan di Bali.
Alur : Maju mundur
Setting :
1.
Waktu :
·
Pagi hari : pagi pagi benar Gembreg pergi ke
pasar untuk jual jaje uli. Telaga terus menumbuk ketan itu sampai keringatnya
mengalir deras dan tangannya yang tak lagi halus itu semakin kasar. Rasa sakit
yang ditimbulkan alu itu justru menenangkan perasaan Telaga. (Tarian bumi, hal
165)
2.
Tempat :
·
Di dapur : Telaga mulai menyalakan api
tungku. Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu. Kuku Telaga runcing mulai
dibalut warna hitam. Dimana mana dibalut warna hitam. Panci, atap dapur,
dinding dapur. Telaga menggigil.
(Tarian Bumi, hal 146)
·
Di griya : “anak tiang sudah mati. Dia tidak
mungkin kembali lagi!” suara ibu terdengar tidak bersahabat. Sepuluh tahun
lebih Telaga tidak pernah datang kerumahnya. Telaga tidak tahu. Kenapa begitu
menginjakkan kakinya untuk yang pertama kali di pintu masuk griya dia merasakan
nyeri. Perasaanya sakit. Terlebih melihat tatapan orang orang griya yang
dingin. (Tarian Bumi, hal 168)
3.
Suasana :
·
Mengenaskan : tidak ada baju, tidak ada
sepatu, kue dan permen. Tidak juga uang. Luh Sekar melihat ibunya dibopong
orang orang desa. Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh sekar
menjerit-jerit. Kata orang orang ibu Sekar diperkosa oleh lebih dari tiga laki
laki dan hamper membunuh perempuan tua itu.
(Tarian
Bumi, hal 47-48)
Sudut pandang : Orang ketiga
pelaku utama (Telaga)
Penokohan :
1.
Luh Telaga : bijaksana, tidak sombong,
penurut, setia
·
“Kita akan hadapiu ini, Tugeg. Tugeg harus
yakin. Tiang percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakana. Saat ini
tiang tidak bisa berjanji apa apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan impian
ini. Impian yang tiang simpan berpuluh puluh tahun. Skit rasanya menyimpan
terlalu lama.” (Tarian Bumi, hal 136)
2.
Wayan Sasmitha : bijaksana tanggung jawab
·
“Kita akan hadapiu ini, Tugeg. Tugeg harus
yakin. Tiang percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakana. Saat ini
tiang tidak bisa berjanji apa apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan impian
ini. Impian yang tiang simpan berpuluh puluh tahun. Skit rasanya menyimpan
terlalu lama.” (Tarian Bumi, hal 136)
3.
Ida Bagus Ngurah Pidada : pengecut, sombong,
angkuh, suka mempermainkan wanita
·
Telaga mencoba paham. Luka nenek telah
ditanam didada kanannya. Luka itu memiliki makna sendiri. Dan warna luka itu
semakin jelas ketika Ayah, anak laki-laki satusatunya nenek miliki, ditemukan
mati ditempat pelacuran. Tubuhnya telanjang penuh tusukan pisau. Mulutnya
berbau arak. (Tarian Bumi, hal 20)
4.
Luh Sekar (jero Kenanga) : keras kepala.
Pengatur.
5.
Ida Bagus Tugur :bijaksana, pemaaf, amanah,
pasif
6.
Ida ayu sagra pidada : tidak sombong, baik
hati, sopan, iri.
Amanat :
·
Kebahagiaan tidak bisa dibeliu dengan harta.
·
Janganlah terpengaruh budaya luar yang kurang
terpuji.
·
Harga diri harus kita jaga didepan umum
·
Janganlah mudah menyerah, kerja keras dan
semanagat yang tinggi pasti akan membuahkan hasil
·
Jangan hanya mengandalkan kekayaan orang tua.
Gaya bahasa :
·
Hiperbola : selendang yang dibawakan penari
ikut menari seakan menggoda penyawer.
Nilai sastra :
1.
Nilai ekonomi :
·
“Hyang Widhi! Kau tahu seluruh kayu itu untuk
persediaan satu bulan. Untuk kebutuhansehari hari memasak nasi dan menggoreng
jaje uli. Itulah. Sudah tiang katakana, jangan kawin dengan lelaki brahmana.
Susah. Kau tidak bisa hidup disini. Tidak akan pernah bisa!” perempuan itu
berkata keras.
(Tarian
Bumi, hal 147)
2.
Nilai budaya : seorang
perempuan yang mencintai sahabat perempuannya.
3.
Nilai moral : Perempuan
Bali yang menghidupi anak anaknya bukan lakilaki yang membuat anak itu.
Ronggeng Dukuh
Paruk
Tema
Kehidupan
ronggeng dukuh paruk yang terkoyak.
Tokoh dan Penokohan
1. Tokoh utama
Srintil adalah
perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang
sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus, Seorang
pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun
dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari
melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu
rapuh, hatinya halus.
2. Tokoh bawahan
Nenek Rasus, memiliki sifat
penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya, (kakek
Srintil) sifat kolot, keras, penyayang
Nyai Sakarya, (nenek
Srintil) yang mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain
(tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum.
tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki Kertareja, sifat kolot,
keras, penyayang, licik.
Nyai Kartareja.
Materialistis, pandai membujuk dan licik.
Tampi: penyayang, sabar.
Goder.
Anak angkat Srintil.
Sersan Pujo.
Baik dan tegas
Masusi. Jahat, hidung
belang, pendendam.
Diding. Kacung Tamir
yang tunduk dan patuh pada majikan demi uang yang akan di bawanya pulang untuk
anak istrinya.
Tamir. Laki-laki
hidung belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya
pengukuran tanah untuk pembuatan jalan di Dukuh Paruk Pecikalan.
Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah hati oleh Srintil.
Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil
namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek
tendernya lolos.
Darman.
Aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi
satu truk kayu bakar.
Pak Blengur. Bos
besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan
Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun
terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan
(kepala desa).
Bijaksana dan peduli akan penduduknya.
Kepala Bangsal
Rumah Sakit Jiwa. Orang yang menerima Srintil saat masuk ke
rumah sakit jiwa.
Babah Gemuk.
Orang yang membagikan uang ganti rugi kepada masyarakat Dukuh Paruk karena
terkena gusuran pembuatan jalan.
Latar
1.
Latar waktu: Peristiwa yang diceritakan ini
berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru(1965).
2.
Latar tempat: Tempat terjadinya cerita di
daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.
Alur
1.
Alur berdasarkan kronologis, alur campuran.
2.
Alur berdasarkan kuantitas, alur jamak.
3.
Alur berdasarkan akhir cerita, alur terbuka.
.
Sudut Pandang
Sudut
pandang penulis sebagai orang ketiga, dia serba tahu karena pengarang berada di
luar cerita.
Amanat
1.
Sebagai seorang wanita harus dapat menjaga
keperawanannya sebelum menikah.
2.
Manusia hendaknya percaya akan adanya Tuhan
dan jangan percaya pada tahayul.
3.
Selalu tabah dalam menjalani hidup.
Sinopsis
Tarian Bumi
Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini mengisahkan pernikahan
beda kasta yang masing-masing dialami oleh ibu dan anak. Luh Sekar adalah
seorang wanita yang berasal dari kasta Sudra yang mempunyai keinginan menjadi
seorang penari dan menjadi istri dari seorang lelaki Brahmana. Luh Sekar
mempunyai seorang Ibu yang bernama Luh Dalem. Ketika Luh Sekar masih kecil, Luh
Dalem yang sehari-hari berdagang terkena musibah. Di tengah perjalanan pulang
ke rumah dari pasar, Luh Dalem di rampok dan diperkosa. Penederitaan Luh Dalem
tidak sampai situ saja, matanya buta akibat kejadian itu. Luh Sekar kecil pun
menjaga Ibunya yang sekarang tidak bisa melihat lagi. Ternyata, benih pemerkosa
bersemayam dirahim Luh Dalem. Awalnya ada niatan untuk menggugurkan kandungan
itu, akan tetapi akhirnya kandungan itu tetap dijaga sampai lahir. Luh Sekar
pun mempunyai saudara kembar yang diberi nama Luh Kerta dan Luh Kerti.
Ketika
Luh Sekar beranjak dewasa, keinginannya untuk menjadi penari tak tertahankan.
Dengan melakukan doa kepada para dewa agar dia direstui untuk menjadi penari,
dan dibantu oleh Luh Kenten dalam memberikan motivasi serta bantuan dalam
mewujudkan keinginan Luh Sekar menjadi seorang penari, akhirnya impian Luh
Sekar pun untuk menjadi penari tercapai. Setelah keinginannya menjadi seorang
penari tercapai, maka impian selanjutnya adalah menikah dengan lelaki Brahmana
dengan harapan bisa merasakan hidup mewah di griya. Bak gayung bersambut,
ternyata Luh Sekar disukai oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki
Brahmana anak dari pasangan Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada. Impian
Luh Sekar untuk mempunyai suami lelaki Brahmana pun tercapai, Luh Sekar dan Ida
Bagus Ngurah Pidada pun menikah dan mempunyai anak perempuan yang diberi nama
Ida Ayu Telaga Pidada (biasa disebut Telaga).
Luh
Sekar pun berganti nama menjadi Jero Kenanga karena sekarang dia adalah sitri
dari seorang Ida Bagus dan sudah menjadi bagian dari griya. Kehidupan Jero
Kenanga pun berubah, dia harus mengikuti segala aturan yang ada dgriya dan
meninggalkan keluarganya yang dianggap sudah beda kasta. Akan tetapi Jero
Kenanga sangat menyayangi Ibunya. Tidak lama setelah Jero Kenanga menikah,
Ibunya ditemukan meninggal dan hanyut di sungai. Kehidupan berkeluarga antara
Jero Kenanga dan Ida Bagus sebenarnya tidak begitu harmonis karena sejak awal
memang Jero tidak mencintai Ida Bagus, dia hanya berambisi untuk
menjadi istri seorang Ida Bagus. Hal itu pun diketahui oleh Telaga yang
menyebabkan Telaga sangat membenci ayahnya. Pukulan yang berat diterima Jero
Kenanga ketika dia mengetahui bahwa adik kembarnya ternyata menjadi wanita
peliharaan Ida Bagus. Akan tetapi Jero Kenanga tetap tegar. Tidak lama
kemudian, Ida Bagus pun ditemukan telah meninggal di tempat pelacuran.
Telaga
pun mengikuti jejak Ibunya menjadi seorang penari setelah dididik oleh Luh
Kembren, seorang guru tari kenamaan di Bali. Setelah berhasil mendidik Telaga
menjadi penari yang hebat, Luh Kembren akhirnya meninggal Jejak Jero Kenanga
yang menikah dengan seorang Ida Bagus tidak diikuti oleh anaknya. Telaga
ternyata jatuh cinta kepada lelaki Sudra bernama Wayan Sasmhita. Telaga dan
Wayan pun akhirnya menikah walaupu keluarga griya tidak menyetujuinya.
Pernikahan
Telaga dan Wayan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Luh Sari. Wayan
mempunyai seorang Ibu dan adik yang bernama Luh Gumbreg dan Luh Sadri. Tidak
lama kemudian, Wayan ditemukan meninggal di dalam galeri lukisnya. Setelah
kematian Wayan, Luh Gembreg meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi,
upacara pamitan kepada leluhur griya karena sekarang dia bukan bagian dari
griya lagi. Upacara itu seharusnya dilakukan sebelum dia menikah dengan Wayan
dan tidak tinggal lagi di griya. Selama Telaga belum melakukan upacara itu,
Telaga dianggap akan membawa malapetaka bagi keluarga Luh Gumbreg. Telaga pun
pergi ke griya meminta izin kepada kakek dan Ibunya untuk melakukan upacara
ini, walaupun pada saat itu Ibunya tidak mau menemui Telaga, hanya kakeknya
yang menemani Telaga dalam melakukan upacara itu. Setelah upacara itu selesai,
akhirnya kini Telaga menjadi perempuan Sudra.
Ronggeng
Dukuh Paruk
Dikisahkan
seorang penari ronggeng dari Dukuh Paruk bernama Srintil. Dukuh Paruk
adalah sebuah desa terpencil dan miskin. Namun, seluruh warganya
memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang dapat menggairahkan
hidup mereka.
Dalam
waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari ronggeng disaksikan
orang-orang Dukuh Paruk sendiri taklama kemudian dia pun berstatus
gadis pilihan yang menjadipenari ronggeng milik masyarakat. Sebagai
seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang
puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan
keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling
mahal.
Meskipun
Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya.
Srintil telah terlibat dan larut dalam sebuah tradisi, di sisi lain,
Rasus merasa mencintai srintil tidak bisa berbuat banyak setelah
Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena
itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian
Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar
sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang
terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang
prajurit atau tentara.
Dengan
ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan
seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang
perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan
ronggeng Srintil.
Beberapa
hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil
sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk
menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus
melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian
Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata
tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian
itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian
menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang
menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil
telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil
tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Perlawanan
atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor
Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan
Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata
tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan
mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari
kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia
tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan
Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang
Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah
pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan
sejenisnya.
Pemberontakan
PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira
PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan
di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan
tanpa alasan yang jelas.
Pada
waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami
berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik
yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena
amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi,
tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang
selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami
makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia
pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.
Hubungan
mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan
oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar,
karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang
sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok
Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat
umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar
menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali
ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Akan
tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung
dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki
Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit
hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping
bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol
itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah
penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata
penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai
ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang
limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan
mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan,
tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah
melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan
harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang
berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung
kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah
menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat
yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil
pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan
kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya
selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun
sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk,
meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.
Srintil
bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil
berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata
lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat
proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila
sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
“Malam
telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk.
Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa
mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang beralih memberi kesan hidup pada
rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik
lamanya, dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecilnya manusia di tengah
keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta
cucunya merasa menjadi semut kecil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa
kuasa dan tanpa arti sedikit pun.”
Langganan:
Postingan (Atom)