Kamis, 04 September 2014

Sebuah Harapan

Fajar tertepis hangatnya sinar mentari
Walau ku masih ingin memeluk kedamaian pagi
Menenangkan jiwa yang kian rapuh
Terkikis kesepian hati yang berlarut-larut

Hari yang berlalu adalah hampa
Kosong, ibarat tersesat di hamparan padang ilalang
Tanpa arah, mengalir menggapai nafsu
Menepiskan akal, tenggelam dalam dunia fatamorgana

Ku berharap hari ini benar-benar ada
Tak hanya diam, terinjak takdir kehidupan
Tak hanya bersandar alasan, berpaling dari kenyataan
Karena ku ingin melukis pelangi di sepanjang hidupku

Senin, 17 Februari 2014

Terusir


Melayang..
Raga ini, bagai rindu dimusim kemarau
Terusir tiupan angin
Tercampak
Berserakan
Hingga waktu tak lagi hiraukan
Ketika sang waktu memasung otakku
Ketika hari-hari telah hampa tnapa nama

Meski semua kan kembali ke tiada

Sabtu, 01 Februari 2014

Terabaikan

Kuingat hari itu
Mentari yang selalu setia menerangiku
Memandang engkau disebuah ruangan
Pertama kali berjumpa

Bisu
Hanya itu yang kau lakukan
Saat kedua bola mata ini menatapmu
Namun, dalam diammu lah
Hati ini tak ingin berpaling

Hari-hari kujalani dengan penantian
Penantian yang kugantungkan
Pada sepenggal harap yang tak berujung

Terlintas dibenakku untuk mengakhiri penantianku
Saat pesan singkat itu tak bertuan
Tak tahu untuk siapa?
Tak mengerti untuk apa?
Seakan teracuhkan

Kini mentari tak secerah dulu
Awanpun tak seterang dulu
Mendung berteman hujan
Yang setia bersamaku
Dalam penantian ini

Sabtu, 18 Januari 2014

Analisis puisi Tanah Air Mata

Tanah Air Mata
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata

Tema
Tema dari puisi ‘Tanah Air Mata’ di atas adalah Perjuangan Menuntut Keadilan.
 Majas
Puisi ‘Tanah Air Mata’ banyak menggunakan majas metafora seperti: / tanah air mata tanah tumpah dukaku / menyanyikan air mata kami / kami simpan perih kami / kami coba sembunyikan derita kami / kalian pijak air mata kami / kalian hinggap di air mata kami /. Majas personifikasi ditemukan pada bait ke-4 larik ke-3 / tapi perih tak bias sembunyi / dan baik ke-
5 larik ke-2 / dan udara luas menunggu /.
Citraan

Citra gerak terdapat pada bait kelima / ke manapun melangkah / ke manapun terbang / ke manapun berlayar / kalian arungi air mata kami /. Citra rabaan terdapat pada bait kedua / disinilah kami berdiri / pada bait ketiga / kami simpan perih kami / kami coba sembunyikan derita kami / pada bait keempat / kami coba kuburkan duka lara /dan bait kelima / kalian pijak airmata kami /. Citra visual terdapat pada bait ketiga / di balik etalase megah gedung-gedungmu / pada bait kelima / bumi memang tak sebatas pandang./. sedangkan citra pendengaran terdapat pada bait kedua / menyanyikan air mata kami/.
Amanat 

      Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah keadilan. kita sebagai generasi muda harus menegakkan keadialan, dan harus memiliki sikap yang bertanggung jawab, bijaksana, adil demi tercapainya  tujuan bangsa yakni masyarakat yang adil dan makmur.


Essai Sastra

Wanita dan budaya
Novel dengan tema budaya yang berseting perjuangan hidup seorang perempuan berhasil digarap oleh Ahmad Tohari, yakni novel yang berjudul “ Ronggeng Dukuh Paruk”. Novel ini berlatarbelakang tentang sebuah kebudayaan di daerah tertentu. Bagaimana pengaruh kebudayaan itu bagi masyarakat. Novel ini menjadi sebuah refleksi bagi kehidupan bermasyarakat. Dapat dipergunakan sebagai literatur dengan pesan-pesan yang ada di dalamnya. Pesan yang berusaha digarap oleh pengarang. Novel yang bertema kebudayaan dan merupakan satu dari trilogi yang ditulis oleh Ahmat Tohari. Novel ini mengambil cerita tentang seorang ronggeng dengan kehidupannya dan bagaimana dia di dalam masyarakat. Perjuangan seorang perempuan di dalam meniti pilihan hidupnya.
Selain Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Novel lain yang mengangkat tema budaya daerah setempat yaitu Tarian Bumi karya Oka Rusmini yang berseting di Bali dengan adanya sistem kasta yaitu penggolongan masyarakat berdasarkan status sosialnya dan bersifat turun temurun dengan mengadopsi konsep Catur Warna dalam agama Hindu (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra).  Oka Rusmini sebagai  wanita Bali sangat jeli dalam mengamati fenomena-fenomena tersebut. Melalui novelnya  ini  ingin memaparkan kondisi masyarakat  Bali    terutama kaum perempuan secara   terang-terangan, di  mana terdapat beberapa pertentangan adat. Pengarang ingin mengajak masyarakat untuk mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang kelas-kelas sosial dalam novel ini. Perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme dalam novel ini diharapkan dapat memberikan implikasi bahwa untuk mencapai kebahagiaan dalam   hidup   tidaklah  mudah,   dibutuhkan   perjuangan   keras   dan  sikap   pantang menyerah.
Dalam rumah besar dan mewah itu hanya teriakan nenek dan kata-kata kasar ayah yang sering keluar. Ibu Telaga jarang berbicara. Dan kakek hanya bisa diam. Setelah kematian ayah Telaga disusul kemudian nenek, Ibu mulai mengatur kehidupan Telaga. Kenanga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Keinginan-keinginan Kenanga adalah harga mati yang tak seorang pun bisa membelokkannya, pun demikian jodoh untuk Telaga, putri satu-satunya.
‘Tarian Bumi’ menceritakan perjalanan hidup seorang wanita bernama Telaga Pidada. Sejak lahir dia adalah seorang keturunan brahmana. Meskipun ibunya adalah seorang keturunan sudra tapi ayahnya adalah seorang keturunan brahmana. Sehingga darah brahmana pun mengalir kental dalam tubuh Telaga. Nenek Telaga juga adalah seorang keturunan brahmana murni namun dinikahkan dengan seorang lelaki sudra. Diceritakan bahwa kehidupan Telaga dalam griya penuh dengan kemewahan, aturan adat, dan segala problematika dalam keluarganya. Hingga suatu hari Telaga dipinang oleh seorang pelukis dari keturunan sudra bernama Wayan Sasmitha. Mereka berdua menikah tanpa persetujuan dari Ibu Telaga dan Ibu Wayan. Mulai dari situlah kesengsaraan dan himpitan hidup semakin menekan Telaga, cobaan dan tantangan terus menguji kesabarannya. Sampai akhirnya Telaga melahirkan seorang gadis cantik dan cerdas bernama Sari. Dengan hadirnya Sari, Telaga mencurahkan seluruh harapan dan membagi kebahagiannya pada anak semata wayangnya itu.

Tidak jauh berbeda dengan Tarian Bumi, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari juga menggambarkan tema yang serupa, yaitu budaya setempat. Pada novel ini dikisahkan seorang Ronggeng bernama Srintil seorang penduduk di dukuh Paruk. Konon di dukuh itulalah dulu Ki Secamanggala bermukim, leluhur dari warga dukuh Paruk. Srintil adalah gadis kecil yang dipercaya oleh kakeknya kelak akan menjadi inang ronggeng. Akhirnya Srintil belajar menjadi calon ronggeng pada Kartareja. Kartareja adalah dukun ronggeng. Ayah dan ibu Srintil telah meninggal. Ayahnya, Santayib adalah penjual tempe bongkrek. Mereka berdua meninggal karena keracunan tempe bongkrek. Semenjak itu Srintil tinggal bersama kakek dan neneknya. Srintil berasal dari keluarga yang tidak punya dan tidak berada. Seorang gadis yatim piatu yang semenjak bayi kehilangan ayah dan ibunya. Ibunya dan beberapa warga dukun Paruk meninggal karena racun yang ada pada tempe bongkrek. Selanjutnya dia dirawat oleh nenek dan kakeknya. Srintil disetir kakeknya agar mau menjadi seorang ronggeng. Terhimpit oleh kemiskinan, menjadi seorang ronggeng berarti menjanjikan sebuah kemapanan. Itu satu diantara alasan mengapa Srintil mau menjadi Ronggeng.

Unsur intrinsik
Tarian Bumi
Tema : Sulitnya perjalanan hidup perempuan di Bali.
Alur : Maju mundur
Setting :
1.                    Waktu :
·                     Pagi hari : pagi pagi benar Gembreg pergi ke pasar untuk jual jaje uli. Telaga terus menumbuk ketan itu sampai keringatnya mengalir deras dan tangannya yang tak lagi halus itu semakin kasar. Rasa sakit yang ditimbulkan alu itu justru menenangkan perasaan Telaga. (Tarian bumi, hal 165)
2.                    Tempat :
·                     Di dapur : Telaga mulai menyalakan api tungku. Asapnya memenuhi dapur yang menghitam itu. Kuku Telaga runcing mulai dibalut warna hitam. Dimana mana dibalut warna hitam. Panci, atap dapur, dinding dapur. Telaga menggigil.
(Tarian Bumi, hal 146)
·                     Di griya : “anak tiang sudah mati. Dia tidak mungkin kembali lagi!” suara ibu terdengar tidak bersahabat. Sepuluh tahun lebih Telaga tidak pernah datang kerumahnya. Telaga tidak tahu. Kenapa begitu menginjakkan kakinya untuk yang pertama kali di pintu masuk griya dia merasakan nyeri. Perasaanya sakit. Terlebih melihat tatapan orang orang griya yang dingin. (Tarian Bumi, hal 168)
3.                    Suasana :
·                     Mengenaskan : tidak ada baju, tidak ada sepatu, kue dan permen. Tidak juga uang. Luh Sekar melihat ibunya dibopong orang orang desa. Tubuh perempuan itu berlumuran darah. Luh sekar menjerit-jerit. Kata orang orang ibu Sekar diperkosa oleh lebih dari tiga laki laki dan hamper membunuh perempuan tua itu.
(Tarian Bumi, hal 47-48)
Sudut pandang : Orang ketiga pelaku utama (Telaga)
Penokohan :
1.                    Luh Telaga : bijaksana, tidak sombong, penurut, setia
·                     “Kita akan hadapiu ini, Tugeg. Tugeg harus yakin. Tiang percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakana. Saat ini tiang tidak bisa berjanji apa apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan impian ini. Impian yang tiang simpan berpuluh puluh tahun. Skit rasanya menyimpan terlalu lama.” (Tarian Bumi, hal 136)
2.                    Wayan Sasmitha : bijaksana tanggung jawab
·                     “Kita akan hadapiu ini, Tugeg. Tugeg harus yakin. Tiang percaya Tugeg mengerti apa yang ingin tiang katakana. Saat ini tiang tidak bisa berjanji apa apa. Tetapi tiang akan berusaha mewujudkan impian ini. Impian yang tiang simpan berpuluh puluh tahun. Skit rasanya menyimpan terlalu lama.” (Tarian Bumi, hal 136)
3.                    Ida Bagus Ngurah Pidada : pengecut, sombong, angkuh, suka mempermainkan wanita
·                     Telaga mencoba paham. Luka nenek telah ditanam didada kanannya. Luka itu memiliki makna sendiri. Dan warna luka itu semakin jelas ketika Ayah, anak laki-laki satusatunya nenek miliki, ditemukan mati ditempat pelacuran. Tubuhnya telanjang penuh tusukan pisau. Mulutnya berbau arak. (Tarian Bumi, hal 20)
4.                    Luh Sekar (jero Kenanga) : keras kepala. Pengatur.
5.                    Ida Bagus Tugur :bijaksana, pemaaf, amanah, pasif
6.                    Ida ayu sagra pidada : tidak sombong, baik hati, sopan, iri.

Amanat :
·                     Kebahagiaan tidak bisa dibeliu dengan harta.
·                     Janganlah terpengaruh budaya luar yang kurang terpuji.
·                     Harga diri harus kita jaga didepan umum
·                     Janganlah mudah menyerah, kerja keras dan semanagat yang tinggi pasti akan membuahkan hasil
·                     Jangan hanya mengandalkan kekayaan orang tua.
Gaya bahasa :
·                     Hiperbola : selendang yang dibawakan penari ikut menari seakan menggoda penyawer.
Nilai sastra :
1.                    Nilai ekonomi :
·                     “Hyang Widhi! Kau tahu seluruh kayu itu untuk persediaan satu bulan. Untuk kebutuhansehari hari memasak nasi dan menggoreng jaje uli. Itulah. Sudah tiang katakana, jangan kawin dengan lelaki brahmana. Susah. Kau tidak bisa hidup disini. Tidak akan pernah bisa!” perempuan itu berkata keras.
(Tarian Bumi, hal 147)
2.                    Nilai budaya : seorang perempuan yang mencintai sahabat perempuannya.
3.                    Nilai moral : Perempuan Bali yang menghidupi anak anaknya bukan lakilaki yang membuat anak itu.

Ronggeng Dukuh Paruk
Tema
Kehidupan ronggeng dukuh paruk yang terkoyak.
Tokoh dan Penokohan
1.      Tokoh utama
Srintil adalah perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus, Seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.

2.      Tokoh bawahan
Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya, (kakek Srintil) sifat kolot, keras, penyayang
Nyai Sakarya, (nenek Srintil) yang mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum. tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki Kertareja, sifat kolot, keras, penyayang, licik.
Nyai Kartareja. Materialistis, pandai membujuk dan licik.
Tampi: penyayang, sabar.
Goder. Anak angkat Srintil.
Sersan Pujo. Baik dan tegas
Masusi. Jahat, hidung belang, pendendam.
Diding. Kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan demi uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya.
Tamir. Laki-laki hidung belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran   tanah untuk pembuatan jalan di Dukuh Paruk Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah hati oleh Srintil.
Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek tendernya lolos.
Darman. Aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Pak Blengur. Bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa). Bijaksana dan peduli akan penduduknya.
Kepala Bangsal Rumah Sakit Jiwa. Orang yang menerima Srintil saat masuk ke rumah sakit jiwa.
Babah Gemuk. Orang yang membagikan uang ganti rugi kepada masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.


         Latar
1.               Latar waktu: Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde baru(1965).
2.               Latar tempat: Tempat terjadinya cerita di daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.
         Alur   
1.               Alur berdasarkan kronologis, alur campuran.
2.               Alur berdasarkan kuantitas, alur jamak.
3.               Alur berdasarkan akhir cerita, alur terbuka.
.
         Sudut Pandang
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga, dia serba tahu karena pengarang berada di luar cerita.
         Amanat
1.               Sebagai seorang wanita harus dapat menjaga keperawanannya sebelum menikah.
2.               Manusia hendaknya percaya akan adanya Tuhan dan jangan percaya pada tahayul.
3.               Selalu tabah dalam menjalani hidup.


Sinopsis
Tarian Bumi
Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini mengisahkan pernikahan beda kasta yang masing-masing dialami oleh ibu dan anak. Luh Sekar adalah seorang wanita yang berasal dari kasta Sudra yang mempunyai keinginan menjadi seorang penari dan menjadi istri dari seorang lelaki Brahmana. Luh Sekar mempunyai seorang Ibu yang bernama Luh Dalem. Ketika Luh Sekar masih kecil, Luh Dalem yang sehari-hari berdagang terkena musibah. Di tengah perjalanan pulang ke rumah dari pasar, Luh Dalem di rampok dan diperkosa. Penederitaan Luh Dalem tidak sampai situ saja, matanya buta akibat kejadian itu. Luh Sekar kecil pun menjaga Ibunya yang sekarang tidak bisa melihat lagi. Ternyata, benih pemerkosa bersemayam dirahim Luh Dalem. Awalnya ada niatan untuk menggugurkan kandungan itu, akan tetapi akhirnya kandungan itu tetap dijaga sampai lahir. Luh Sekar pun mempunyai saudara kembar yang diberi nama Luh Kerta dan Luh Kerti.
            Ketika Luh Sekar beranjak dewasa, keinginannya untuk menjadi penari tak tertahankan. Dengan melakukan doa kepada para dewa agar dia direstui untuk menjadi penari, dan dibantu oleh Luh Kenten dalam memberikan motivasi serta bantuan dalam mewujudkan keinginan Luh Sekar menjadi seorang penari, akhirnya impian Luh Sekar pun untuk menjadi penari tercapai. Setelah keinginannya menjadi seorang penari tercapai, maka impian selanjutnya adalah menikah dengan lelaki Brahmana dengan harapan bisa merasakan hidup mewah di griya. Bak gayung bersambut, ternyata Luh Sekar disukai oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki Brahmana anak dari pasangan Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada. Impian Luh Sekar untuk mempunyai suami lelaki Brahmana pun tercapai, Luh Sekar dan Ida Bagus Ngurah Pidada pun menikah dan mempunyai anak perempuan yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada (biasa disebut Telaga).
            Luh Sekar pun berganti nama menjadi Jero Kenanga karena sekarang dia adalah sitri dari seorang Ida Bagus dan sudah menjadi bagian dari griya. Kehidupan Jero Kenanga pun berubah, dia harus mengikuti segala aturan yang ada dgriya dan meninggalkan keluarganya yang dianggap sudah beda kasta. Akan tetapi Jero Kenanga sangat menyayangi Ibunya. Tidak lama setelah Jero Kenanga menikah, Ibunya ditemukan meninggal dan hanyut di sungai. Kehidupan berkeluarga antara Jero Kenanga dan Ida Bagus sebenarnya tidak begitu harmonis karena sejak awal memang Jero  tidak mencintai Ida Bagus, dia hanya berambisi untuk menjadi istri seorang Ida Bagus. Hal itu pun diketahui oleh Telaga yang menyebabkan Telaga sangat membenci ayahnya. Pukulan yang berat diterima Jero Kenanga ketika dia mengetahui bahwa adik kembarnya ternyata menjadi wanita peliharaan Ida Bagus. Akan tetapi Jero Kenanga tetap tegar. Tidak lama kemudian, Ida Bagus pun ditemukan telah meninggal di tempat pelacuran.
            Telaga pun mengikuti jejak Ibunya menjadi seorang penari setelah dididik oleh Luh Kembren, seorang guru tari kenamaan di Bali. Setelah berhasil mendidik Telaga menjadi penari yang hebat, Luh Kembren akhirnya meninggal Jejak Jero Kenanga yang menikah dengan seorang Ida Bagus tidak diikuti oleh anaknya. Telaga ternyata jatuh cinta kepada lelaki Sudra bernama Wayan Sasmhita. Telaga dan Wayan pun akhirnya menikah walaupu keluarga griya tidak menyetujuinya.
            Pernikahan Telaga dan Wayan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Luh Sari. Wayan mempunyai seorang Ibu dan adik yang bernama Luh Gumbreg dan Luh Sadri. Tidak lama kemudian, Wayan ditemukan meninggal di dalam galeri lukisnya. Setelah kematian Wayan, Luh Gembreg meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi, upacara pamitan kepada leluhur griya karena sekarang dia bukan bagian dari griya lagi. Upacara itu seharusnya dilakukan sebelum dia menikah dengan Wayan dan tidak tinggal lagi di griya. Selama Telaga belum melakukan upacara itu, Telaga dianggap akan membawa malapetaka bagi keluarga Luh Gumbreg. Telaga pun pergi ke griya meminta izin kepada kakek dan Ibunya untuk melakukan upacara ini, walaupun pada saat itu Ibunya tidak mau menemui Telaga, hanya kakeknya yang menemani Telaga dalam melakukan upacara itu. Setelah upacara itu selesai, akhirnya kini Telaga menjadi perempuan Sudra.

Ronggeng Dukuh Paruk
Dikisahkan seorang penari ronggeng dari Dukuh Paruk bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa terpencil dan miskin. Namun, seluruh warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang dapat  menggairahkan hidup mereka.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari ronggeng disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri taklama kemudian dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadipenari ronggeng milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.
Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat dan larut dalam sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai srintil tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara.
Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas.
Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.    
Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
“Malam  telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang beralih memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik lamanya, dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecilnya manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kecil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun.”